GH

Nestapa Si Gadis Desa

loading...
loading...



Malam telah larut Ningsih, tidurlah. sambil menyeka rambut Halimah yang indah nan mempesona itu, pak Abdul berbisik lirih pada anaknya. “ Besok sepagi mungkin bapak yang langsung akan mengantarkanmu ke kadipatenan.”

” Tidurlah nak, perjalanan kita cukup jauh besok,”. Begitulah ucap ayah pada buah hatinya yang paling kecil itu sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kamar tempat tidur anak tercintanya.

Sekeluar dari pintu kamar Pak Abdul menyeka matanya yang berkaca-kaca, air matanya pun menetes , seorang ayah bagaimanapun juga tetap menginginkan anaknya bahagia, kalau terus bersamaku, tentu aku tidak lagi bisa menyanggupi kebutuhannya, aku sudah tua dan sakit-sakitan pula.

‘’Aku tidak menjualnya” .tegas pak Abdul dalam hatinya. Semua ini untuk kebaikan dia, untuk masa depannya yang lebih baik.

Tetapi walaupun begitu didalam hatinya yang paling dalam ia tidak rela anak gadisnya dipersunting sebagai selir. Tapi apa daya, keluargaku hanya keluarga seperti orang kebanyakan. Tak ada kuasa dan tahta. Ketika sang Adipati itu datang dan terus terang menginginkan anakku, maka aku tidak bisa berbuat apapun.

Ningsih sendiri tidak bisa tidur malam itu, memikirkan tentang hari esok yang mungkin akan mengubah segala hal tentang impian dan masa depannya.

Aku masih 15 tahun tegas Ningsih dalam hatinya, entah mengapa hati ini seperti merasa tersayat-sayat, sesak rasanya, tapi tidak bisa berbuat apapun. di usianya yang masih sangat belia, seharusnya Ningsih masih bisa berpikir panjang tentang pendidikan dan karirnya. Aku masih ingin hidup bebas dan bahagia tegas Ningsih dalam hati, tapi mengapa kanjeng adipati menginginkanku untuk menjadi selirnya.

Ningsih kembali terbangun dalam sadarnya. Oh, malang benar nasibku, jalan hidupku yang baru saja akan kurintis sudah harus bersua dengan nestapa. Ibu ku sudah tidak ada, kakak sudah dibawa jauh oleh suaminya, ayahku sudah cukup tua, bahkan untuk mengurusi dirinya sendiri kadang kesusahan. Kini aku hanya bisa berharap pada diriku sendiri. Kadang hidup memang teka-teki yang aneh, terkadang harapan akan jauh berbeda dengan kenyatakan.

Aku masih ingin belajar menembang dan menari. Aku ingin menjadi perempuan yang mampu menemukan jalan hidupku sendiri, tanpa harus bergantung pada kaum laki-laki. Aku ingin hidup mandiri. Harapku, tentu saja! Aku tidak ingin menjadi makhluk pelengkap kehidupan laki-laki semata. Melainkan harus mampu mandiri, sebagaimana telah ajarkan almarhum Ibu Padaku.

Tapi ibu, kini harapan ibu tidak mungkin lagi kujalankan. Kanjeng Adipati telah menginginkanku untuk menjadi selirnya yang entah keseberapa aku tidak tahu, ayah tidak bisa menolak, apalah daya saya ini ibu, tidak ada daya upaya saya untuk mengatakan tidak pada apa yang dikendaki oleh tuan Adipati.

Ningsih masih tetap termenung dalam malam yang teramat sangat panjang, waktu telah melewati tengah malam, bahkan sudah setengah lagi menuju pagi, sebentar lagi mungkin ayam jago akan berkokok, tapi Ningsih tetap gelisah dalam perbaringan yang terakhir dirumahnya.

Mungkin esok malam atau lusa aku akan tidur ditempat yang lebih nyaman dari kamarku ini, dengan kamar penuh bingkai kemegahan, bunga-bunga segar di setiap sudutnya, ranjang yang empuk, pengawal-pengwal dan pelayan kadipaten yang selalu siap menjaga dan memenuhi kebutuhanku.

Tapi bagiku itu seperti neraka. Aku lebih senang ditempat tidurku yang sekarang. Walau tidur beralaskan dipan, berbantal kapuk yang kurajut sendiri, aku nyaman dengan ini, walaupun malam ini rasa-rasanya tempat tidur ini sangat-sangat menyiksaku, seperti penuh duri yang menyayat-nyayat punggungku.

Tanpa disadari Ningsih tertidur, kantuk yang datang sedari tadi tak kuasa lagi di tolaknya.

Memang Ningsih tergolong gadis yang masih belia, namun tidak dengan perawakannya, badannya tumbuh tinggi seperti almarhum ibunya dulu, mempunyai wajah teramat cantik dan juga sexy tentunya, kulitnya kuning langsat natural nan mempesona.

Pemuda-pemuda kampungnya kerap melirik Ningsih jika melewati rumahnya, bahkan kemolekan Ningsih kerap menjadi perbincangan pemuda-pemuda setempat jika mereka sedang berkumpul di warung kopi.

Firman pemuda sekampung Ningsih kadang-kadang selalu mengkhayal dan membicarakan Ningsih ketika berkumpul dengan teman-teman. “Ouhh kasihku Ningsih”, tiada wanita lain selain dirimu yang ku kagumi di kampung ini, kaulah manifestasi keindahan dari Tuhan itu”.

“hey Firman Jelas saja tak ada yang lebih cantik dari Laras, lah wong dikampung ini hanya ada 20 kepala keluarga yang punya anak gadis hanya ada beberapa, tentu saja Ningsih menjadi juaranya.” Celetuk Budi.

Kau benar Firman. Balas Dirman menengahi. “Ningsih memang pujaan bagi kita, dia bunga desa yang tiada Tara, semenjak kakaknya kawin dan dibawa oleh suaminya ke kampung lain, sekarang pak Abdul hanya tinggal sendiri untuk membesarkan nya. Ku dengar dia kerepotan dalam hal itu, makannya ketika kanjeng Adipati melamar Ningsih anak pak Abdul itu, pak Abdul seperti tiada usaha untuk menolak.”

“Itulah mengapa aku bersedih mendengar kabar itu.” Balas Firman dengan nada penuh duka.

Sambil meminum kopi dan menghembuskan asap rokok yang di pegangnya. Firman melanjutkan. “aku harus berusaha menggagalkan perkawinan mereka.”

Hus sudah gila kau!! Sanggah Budi. “Bisa mati kau nanti”.

Iyah benar balas Darman. Kau pikir kau mampu melawan perajurit kadipaten itu hah. Kau ini hanya pegawai tani buruh kasar, mainannya cuman cangkul. Jangan sok jago lah.

“Iya sih yaudahlah gak jadi, ku ikhlaskan saja kalau gitu.”

Sepagi mungkin pak Abdul membangunkan larasati. Diketoknya pintu kamar Ningsih, Ning.. Ningsih tok.tok..tok “Ningsih bangunlah nak ku sayang. Fajar sudah hampir menyingsing, Sebentar lagi kereta kadipaten akan datang menjemput kita.”

Ningsih terbangun dengan mata yang masih kemerahan, lalu ia berjalan menuju kamar mandi dengan sempoyongan.

Di buka pakaiannya dengan perlahan. Rambut yang hitam menjuarai melewati bahu, kulit mulus, Buah dadanya yang masih ranum, serta pinggulnya yang aduhai.

Airnya yang terasa dingin itu ia siramkan pada bagian kepala hingga membasahi seluruh badannya, diambilnya daun sirih dan lidah buaya. Maklum tidak ada shampo sunsilk dan sabun lekboy waktu itu.

Dengan daun sirih itu Disekanya bagian leher dan buah dadanya secara perlahan, pinggul dan bokongnya diseka secara teratur.

Tepat dua hari yang lalu pengawal kadipaten mengantarkan gaun untuk dikenakan Ningsih pada hari penjemputanya.

“Gaun indah, bicara Ningsih dalam hati” lalu ia kenakanlah gaun itu. Gaun berwarna putih dengan manik-manik pada bagian dada, gaun yang terasa sempit, hingga buah dada Ningsih menyembul keluar.

Gaun itu menjulang panjang hingga menutupi mata kakinya, namun terbelah pada bagian pahanya. Hingga terlihatlah mulus kaki hingga bagian paha Ningsih.

Dengan pakaian itu Ningsih Cantik memang, tapi tidak dengan raut masam wajah Ningsih, wajahnya tidak bisa menutupi kesedihan yang ia sembunyikan dalam hatinya.

“Ningsih, nak lekaslah keluar Kereta kencana telah datang menjemput kita”. teriak bapak pada sang gadis dari luar kamar.
“Iyaa sebentar pak.” ini udah siap kok.

Ningsih keluar dari kamarnya, dengan sedikit mengangkat bagian bawah gaunnya. “Haduhh Sepatu hak tinggi yang merepotkan.” Celetuk Ningsih dalam hatinya.

Keluarlah Ningsih dari pintu rumahnya, berpuluh pasang mata telah menunggunya diluar, mereka menatap kecantikan Ningsih dengan penuh kekaguman, tak terkecuali si Firman, Budi dan Darmin.

Dengan kemegahan gaun dan kecantikannya, Ningsih langsung menjadi bintang, yang seakan akan menjadi fajar kedua setelah matahari yang terbit di ufuk timur.

Ningsih tahu dari berpuluh pasang mata yang menatapnya dengan kekaguman itu ada beberapa orang yang mengharapkannya agar tidak jadi berangkat ke kadipaten. sesekali terdengar siulan ntah dari mana arahnya, sebuah isyarat agar Ningsih melihat kearahnya, ia tahu pasti itulah si Firman. Namun Larasati tetap menghiraukan suara itu.

Sebelum naik kereta kencana Ningsih melihat sekeliling sambil melempar senyum tanda perpisahan darinya.

Kereta berjalan melewati kerumunan warga “beruntungnya si Ningsih anak pak Abdul itu, bisik para tetangga, sebentar lagi hidupnya akan enak, dia tak perlu menari dan menembang lagi dari kampung kekampung”

“Iyaa betul itu Bu, balas ibu-ibu disebelah nya, esok mungkin akan menjadi hari yang paling bahagia bagi Ningsih, lihatlah ketika dia memakai gaun itu, kelihatan anggun benar gadis itu.”

Kereta terus berjalan meninggalkan perkampungan, suasana menjadi hening, hanya suara hentakan kaki kuda, suara berisik dari roda kreta dan empat pengawal berkuda yang mengiringi dari belakang.

loading...
LANGSUNG SHARE KE MEDSOS...